Tanggal 23 September adalah Aki Higan 秋彼岸, bahasa Inggrisnya Equinox Day. Saya sudah pernah menulis tentang Haru Higan dan isinya kurang lebih sama. Yaitu kebiasaan nyekar ke makam dan makan ohagi. Yang belum pergi ke makam masih bisa sampai 26 September, karena memang Higan itu dimulai 3 hari sebelum hari Higan dan berakhir 3 hari sesudahnya. Biasanya kalau pergi nyekar pas pada hari Higan, jalanan akan macet dan bunga akan mahal (hhihihi kok seperti di negara kita ya? Eh tapi ini kalau beli di dalam kuilnya kok).
Bertepatan dengan AkiHigan, biasanya juga ada yang disebut dengan Tsukimi 月見, harafiahnya “melihat bulan”. Tentu bukan melihat burger dengan telur ceploknya Mac Donald, tapi memang dipakai sebagai waktu untuk menikmati bulan yang memang cantik di musim gugur ini. Ternyata tidak selalu Tsukimi pas bulan purnama, bisa kurang dikit, atau lebih dikit
Nama kerennya 中秋の名月(ちゅうしゅうのめいげつ) Chushunomeigetsu, atau yang diingriskan sebagai Mid-Autumn. Kalau di Cina, Singapore, Taiwan banyak yang makan Moon Cake, tapi di Jepang biasanya makan Tsukimi Dango (bukan Tsukimi Burger ya hehehe). Sambil menikmati keindahan bulan, makan dango dan minum teh hijau (atau sake ).
Chushunomeigetsu ini juga disebut Malam ke 15 十五夜. Nah loh, 15nya dapat dari mana ya? Menurut penanggalan kuno, sebetulnya yang disebut musim gugur itu dari bulan Juli sampai September. Pertengahan musim gugur itu jadinya bulan Agustus, tepatnya tanggal 15 Agustus. Tapi penanggalan sekarang kira-kira terlambat 1 bulan, sehingga yang dinamanya 十五夜 itu adalah pertengahan September, waktu bulan purnama. Tapi ternyata dari survei selama ini, kesempatan kita melihat bulan jelas dan indah itu hanya 67%-an saja. Karena biasanya pada hari ke 15 十五夜 itu hujan. Karena garis curah hujan biasanya berada di atas kepualauan Jepang.
Sudah sejak dulu kala, orang Jepang memuja Bulan. Tapi baru sekitar abad ke 9 (Zaman Heian), bangsawan berkumpul minum sake sambil memandang bulan. Untuk masyarakat biasa, baru mulai zaman Edo (1600-) ikut menikmati bulan seperti kalangan istana. TAPI masyarakat biasa itu lebih memuja bulan dengan Tsukimi karena menjelang panen. Festival panen padi, sehingga mereka berkumpul sambil berharap semoga panen berhasil. Di beberapa daerah mulai memasang orang-orangan yang disebut kakashi 案山子.
Pada acara tsukimi biasanya orang Jepang menghias dengan daun susuki yang seperti alang-alang. Rupanya ini menyerupai padi, sehingga dianggap bisa menghalau roh jahat. Tsukimi dango, yaitu mochi bulat yang putih menyerupai bulan ini disusun menyerupai piramid. Jumlahnya 15 karena Malam yang ke 15. Dan mochi yang teratas dianggap menjadi jembatan dengan dunia lain. Selain tsukimi dango, susuki, biasanya di pertanian menghias dengan panenan ubi, chestnut dan edamame. Tapi terutama satoimo, karena sebetulnya nama lain dari chushunomeigetsu adalah imomeigetsu.
Nah, jika tidak bisa menikmati Malam ke 15, atau Tsukimi hari ini, sebetulnya kita juga bisa menikmati Malam ke 13 十三夜dan ke 10 十日夜. Loh, kan mestinya sudah lewat?
Ternyata menurut perhitungan Malam ke 13 itu jatuh pada tanggal 21 Oktober 2018 dan Malam ke 14 jatuh pada tanggal 17 November. Tapi memang bulan purnama di musim gugur dan dingin indah ya. Mungkin karena kita (mulai) merasa dingin, melankolis dan romantis.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, mengapa di bulannya orang Jepang terlihat bayangan kelinci yang sedang membuat mochi? Apakah kita orang Indonesia juga sama melihat ke bulan dan membayangkan kelinci? Berdasarkan survei lagi, ternyata yang melihat di bulan itu ada kelinci hanya di daerah Asia (Jepang, Cina, Korea), sedangkan daerah Eropa misalnya melihat ada bayangan wanita, atau di Arabia melihat singa. Nah, kenapa kelinci?
Di Jepang ada cerita turun temurun bahwa ada kelinci yang tinggal di bulan. Dan ini sebetulnya berasal dari cerita agama Buddha seperti begini:
Dahulu kala kelinci, rubah dan monyet. Suatu hari mereka bertemu seorang kakek tua yang lelah dan kelaparan. Kemudian mereka bertiga mengumpulkan makanan untuk si kakek. Monyet pergi ke gunung dan mengumpulkan buah. Rubah pergi ke sungai dan mengambil ikan. Kelinci mencari dan mencari, tapi tidak mendapat apa-apa. Karena tidak mendapat apa-apa, kelinci kemudian berkata, “Silakan makan saya!”, dan dia terjun ke api, supaya dagingnya bisa dimakan oleh si kakek. Rupanya si kakek adalah Taishakuten, (Shakra, Mahadewa) yang hendak menguji ketiganya. Terharu pada kelinci, Taishakuten mengirim kelinci ke bulan, supaya menjadi teladan semua orang.
Sedih ya… saya juga baru tahu cerita kelinci yang sedalam ini. Tapi kenapa kelinci harus membuat mochi di bulan? Ada versi yang mengatakan bahwa si kelinci membuat mochi untuk si kakek, atau si kelinci tidak akan kelaparan. Tapi yang paling masuk di akal adalah bahwa Festival Mid Autumn itu merayakan panen, yaitu beras. Dan mochi berasal dari beras. Dilambangkanlah beras menjadi mochi dalam legenda turun temurun di masyarakat Jepang.
Kita bisa mengakui bahwa Jepang memang membawa unsur-unsur penting kehidupan manusia dalam kebudayaannya, dan menghargai setiap unsur sebagai suatu hadiah dari alam, jika tidak bisa mereka katakan Tuhan.