Posted on

Masih jelas dalam ingatan, tiga tahun lalu kita kedatangan strain baru Coronavirus yang menyerang saluran pernafasan. Pada saat media briefing 3 Maret 2020, WHO mengatakan “This virus is not SARS, it’s not MERS, and it’s not influenza. It is a unique virus with unique characteristics.” Virus yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2 ini menyebar dengan sangat cepat di berbagai belahan dunia, dan pada 11 Maret 2020, WHO resmi menyatakan Covid-19 sebagai pandemik. [Ref 1,2]

Sejak saat itu kita tahu bagaimana Covid-19 memakan banyak korban di berbagai negara, termasuk di Jepang, maupun di Indonesia. Pada saat Covid-19 mulai merajalela, kita belum tahu dengan baik bagaimana proses penularannya, seperti apa gejala khas yang ditimbulkan, seperti apa resiko yang harus dihadapi, belum punya obat yang efektif, dan semua orang belum punya kekebalan tubuh yang cukup menghadapi penyakit baru ini. Tidak heran, banyak korban berjatuhan karena Covid-19. Saya yakin orang-orang yang pernah merasakan berjuang hidup mati dengan ventilator di ICU pasti tidak akan gegabah komentar sembarangan meremehkan penyakit ini. Saya sendiri juga mengalami kehilangan saudara dan teman karena Covid-19. Rasanya dunia tidak sama lagi sejak pandemik ini datang.

Selama kurun waktu tiga tahun ini SARS-CoV-2 seolah berlomba melakukan mutasi untuk meloloskan diri dari mekanisme pertahanan tubuh. Varian Delta yang mencapai puncak penyebaran pada tahun 2021 menyebabkan angka kematian melonjak di banyak negara. Hasil penelitian menunjukkan orang yang terkena varian Delta beresiko lebih tinggi mengalami perburukan gejala hingga fatal. Kita beruntung, dominasi varian Delta akhirnya digantikan dengan varian Omicron yang meskipun lebih mudah menular tetapi memiliki gejala yang lebih ringan dibandingkan varian sebelumnya. [Ref 3]

Di lain pihak, tenaga kesehatan, ilmuwan dari berbagai bidang juga berlomba untuk mengenali, mencegah, dan mengatasi penyebaran SARS-CoV-2. Salah satu terobosan besar di bidang kesehatan saat pandemik ini adalah penggunaan vaksin dengan basis teknologi mRNA. Sebenarnya metode vaksin dengan mRNA bukan teknologi yang tiba-tiba baru dibuat. “Hundreds of scientists had worked on mRNA vaccines for decades before the coronavirus pandemic brought a breakthrough.” Teknologi mRNA vaksin ini sebelumnya sudah ditujukan untuk membuat vaksin HIV, tetapi sifat mRNA yang rapuh, fragile, dan mudah terdegradasi menyebabkan transfer material mRNA ke dalam tubuh untuk berfungsi sebagai vaksin tidak mudah. Jalan panjang dan berliku untuk menggunakan teknologi mRNA ini akhirnya mendapat angin segar justru saat pandemik. Kenapa? Karena segala sumber daya penelitian yang ada dikerahkan untuk membuat vaksin baru yang cepat, relatif aman, dan efektif untuk mengatasi virus yang juga bermutasi dengan cepat. Kelebihan mRNA vaksin yang dapat dirancang menyesuaikan dengan pathogen yang berbeda-beda, dan dapat diproduksi dengan waktu lebih singkat dibandingkan vaksin konvensional membuat teknologi ini mendapat perhatian utama saat situasi pandemik. [Ref 4-6]
Saat ini selain vaksin mRNA untuk varian awal SARS-CoV-2, kita juga sudah memiliki mRNA vaksin untuk varian baru Omicron (bivalent vaccine).

Saya mengikuti uji klinis untuk memantau antibody yang terbentuk dari vaksin Covid-19 yang saya terima. Titer antibody memang berangsur menurun sejak selesai vaksin komplit. Data penelitian yang ada menunjukkan mengambil booster minimal satu kali, dapat meningkatkan kembali titer antibody lebih tinggi dibandingkan hanya dua dosis primer. Mungkin ada yang masih ingat saya pernah menyebut “adaptive immunity”; ini yang diharapkan dari vaksinasi. Vaksinasi bisa melatih sel memori (B-cells, T-cells) yang merupakan pertahanan garis kedua dari tubuh. Mereka dapat lebih cepat bereaksi terhadap virus yang lolos masuk ke dalam tubuh dan mencegah perburukan, kematian pada orang yang telah divaksinasi.

Awal tahun 2023, WHO mengeluarkan pernyataan bahwa pandemik Covid-19 memasuki masa transisi. Banyak orang yang sudah memiliki imunitas yang tinggi terhadap Covid-19 (pasca infeksi langsung maupun melalui vaksinasi) dan membuat dampak dari Covid-19 terhadap angka kesakitan dan kematian berkurang. [Ref 7]

Di Jepang mulai bulan Mei 2023, direncanakan Covid-19 akan masuk kategori「5類」- Tipe 5. Ini berarti Covid-19 akan masuk dalam kategori yang sama dengan influenza musiman, RS virus, rubella/campak German, cacar air, dan penyakit tangan-kaki-mulut (HFMD). Tindakan medis dan hukum terhadap Covid-19 akan berubah. Rekomendasi rawat inap, kontak erat, subsidi medis akan berubah. Biaya pengobatan dan vaksinasi yang selama ini ditanggung penuh oleh pemerintah akan menjadi sebagian ditanggung oleh pasien sendiri. [Ref 8]

Pemakaian masker juga sudah bebas berdasarkan penilaian individual. Saya sertakan di gambar, reminder supaya kita bisa bertindak bijaksana terkait penggunaan masker.

Apakah Covid-19 akan hilang begitu saja?

Meski dampak Covid-19 berkurang, kasus positif masih terus menerus ada. Kita sepertinya memang harus beradaptasi untuk menerima kehadiran penyakit baru, Covid-19. Sejarah juga menunjukkan bahwa penyakit infeksi menular memiliki kemampuan untuk berevolusi dan bisa muncul tak terduga kapan saja. [Ref 9]

Spanish flu 1918, Polio 1948-1955, Mexico swine’s flu 2009, Hong Kong SARS 2003, Ebola outbreak 2013, dsb. Mari belajar dari sejarah dan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Covid-19 sudah memberikan banyak data dan ilmu yang bisa kita pelajari untuk persiapan jika suatu saat muncul pandemik baru.

Jangan sampai kita mengulang sejarah yang buruk hanya karena misinformasi kesehatan. Akhir tahun 2022 Indonesia kembali menetapkan kejadian luar biasa (KLB) polio setelah delapan tahun dinyatakan bebas polio oleh WHO. [Ref 10]. Kita tahu bagaimana dampak fatal polio; sayang sekali jika kita tidak bisa belajar dari sejarah untuk proteksi diri lebih baik.

Hal yang sama dengan Covid-19. Apa yang kita ajarkan ke generasi muda saat pandemik ini kelak akan jadi bekal mereka dalam menghadapi berbagai penyakit baru.

Saya berharap status pandemik segera berakhir dan ini menjadi tulisan penutup saya tentang Covid-19. Semoga sedikit banyak teman-teman di sini bisa mendapatkan informasi yang berguna dari semua yang pernah saya tulis ya ❣️

Get informed and be wise, always.

Tokyo, 28 Maret 2023
Dr. Kathryn Effendi

#kesehatanwibj

#wibjcovid19

Referensi:

1. Media briefing 3 Maret 2020 (https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19—3-march-2020)

2. Media briefing 11 Maret 2020 (https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19—11-march-2020)

3.https://www.yalemedicine.org/news/covid-19-variants-of-concern-omicron

4. https://www.nature.com/articles/d41586-021-02483-w

5. https://www.nytimes.com/2022/01/15/health/mrna-vaccine.html

6. https://www.medicalnewstoday.com/articles/mrna-vaccine-vs-traditional-vaccine#comparison

7. https://www.who.int/news/item/30-01-2023-statement-on-the-fourteenth-meeting-of-the-international-health-regulations-(2005)-emergency-committee-regarding-the-coronavirus-disease-(covid-19)-pandemic 8. https://www.asahi.com/relife/article/14830996

9.https://theconversation.com/three-years-on-the-covid-pandemic-may-never-end-but-the-public-health-impact-is-becoming-more-manageable-198013

10. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c041gz8kkx1o

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *