Hari ini tanggal 23 April merupakan World Book (and copyright) Day, Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia. Bahasa Jepangnya 世界図書・著作権デー sekai tosho chosakuken day. Kok bukan hon? Sebetulnya kata BUKU atau Book itu dalam Bahasa Jepang bisa disebut sebagai HON 本 ini yang umum diketahui semua orang. Lalu ada istilah 図書 Tosho , yang sering dipakai dengan gabungan kata lain seperti Toshokan 図書館 (perpustakaan) toshoshitsu 図書室 (perpustakaan tapi bukan gedung, hanya ruangan saja)dan Toshokado 図書カード (book gift card).
Istilah Shoseki 書籍 sering dipakai sebagai pengganti Tosho, karena Tosho umumnya sudah lebih diketahui sebagai kesatuan Toshokan. Karena itu jika mengatakan “Pengiriman Buku” lebih dipakai shoseki yuso 書籍郵送 bukan tosho yuso 図書郵送 atau waktu mengetik kata kunci “Pencarian Buku” tidak menuliskan Tosho kensaku 図書検索 tapi Shoseki kensaku 書籍検索, karena nanti yang keluar banyak adalah daftar Perpustakaan bukan buku. Dan yang terakhir adalah shomotsu 書物 sebuah istilah yang baku dan jarang dipakai dalam percakapan biasa. Misalnya dalam dokumen “Sejarah buku” maka dituliskan Shomotsu no rekishi 書物の歴史.
Jadi 4 istilah ini 本、図書、書籍 dan 書物 kalau diterjemahkan ya menjadi BUKU saja, tapi orang Jepang membedakan masing-masing dalam pemakaiannya. (Ribet ya )
Saya ingin memperkenalkan jenis buku di Jepang yang disebut sebagai bunkobon 文庫本. Semua bunkobon berukuran sama yaitu A6, 105mm×148mm. Dipelopori oleh penerbit Iwanami Bunko, bagian dari sebuah penerbit Iwanami Shoten, termasuk penerbit lama di Jepang (berdiri th 1913). Iwanami Bunko menerbitkan buku-buku dengan ukuran sama A6 ini untuk mempopulerkan buku klasik yang pernah diterbitkan dengan harga murah kepada masyarakat umum pada tahun 1927. Tapi sesudah perang (1945) beberapa penerbit juga meramaikan penerbitan bunkobon ini. Buku bunkobon ini bisa disebut sama dengan paperback dalam bahasa Inggris (ukurannya sedikit lain), tapi bunkobon ini mempunyai cover pelindung tambahan yang tidak terdapat dalam paperback di negara lain.
Ada satu kebiasaan dalam penerbitan buku di Jepang yaitu “ban buku” hon no obi 本の帯 (obi sebenarnya artinya ikat pinggang – stagen yang dipasang di pinggang), yang dipasang diatas cover pelindung buku. Dalam obi ini dituliskan pesan sponsor, kata-kata memikat untuk memilih buku itu. Atau bisa juga berupa promosi dari film yang berkaitan dengan buku tersebut (seperti pamflet/flyer kecil). Atau obi tersebut bisa diberi warna, sesuai dengan kategori bukunya. Misalnya warna kuning adalah kategori sastra Jepang kuno, warna biru kategori science/pemikiran, warna hijau sastra Jepang, warna pink sastra luar negeri, dan warna putih social science. Bagi saya, obi ini sangat mengganggu waktu membaca, sehingga biasanya saya buang…. Dan dimarahi oleh suami saya. Katanya kalau nanti buku itu mau dijual dan tidak ada obinya, harganya bisa jatuh (lebih murah). Padahal… ntah kapan juga mau jualnya hehehe.
Kalau di Jepang ada obi, di Indonesia saya perhatikan sekarang ada kebiasaan menyelipkan shiori しおり pembatas buku yang senada dengan cover bukunya. Kalau di Jepang memang tidak ada shiori, tapi di beberapa buku ada pita pembatas.
Keberadaan bunkobon ini juga yang membuat rak buku di Jepang bisa terlihat teratur. Besarnya sama, dan bisa dibuat lemari khusus yang kedalamannya tidak perlu terlalu dalam (16 cm). Juga jarak antara papan juga sudah pasti. Tentu saja kalau semua bukunya bunkobon.
Selain bunkobon, masih ada ukuran-ukuran lain yang lebih besar yaitu TANKOBON 単行本. Tankobon ini biasanya lebih besar dan lebih beragam ukurannya. Sesuai dengan Namanya, Tankobon itu diterbitkan satu-satu, tidak berseri/berjilid-jilid. Jadi kalau pergi ke toko buku dan melihat ke pojok “Buku baru”, itulah tankobon. Tentu saja karena baru, harganya tidak semurah bunkobon, tapi karena “fresh from the oven” tentu kita dapat membacanya pada waktu baru diterbitkan atau waktu sedang populer-populernya.
Sebagai penutup, saya baru tahu bahwa ternyata menurut Unesco (1964), yang dinamakan buku itu harus berjumlah 49 halaman lebih (isinya). Kalau hanya 5 halaman sampai 49 halaman itu disebut dengan buklet.